Makanan ini terbuat dari buah jagung. Dalam proses penyajiannya, jagung
dicampur dengan santan, tepung terigu, air, serta gula dan garam. sangat
lesat apalagi di sajikan panas.
Orang Makassar menyebutnya, Bassang. Bubur dengan berbahan utama jagung. Bubur bassang yang terbuat dari jagung memiliki nilai gizi tinggi,
mengurai, biji jagung kaya akan karbohidrat. Sebagian besar berada pada
endospermium. Kandungan karbohidrat dapat mencapai 80% dari seluruh
bahan kering biji. Karbohidrat dalam bentuk pati umumnya berupa campuran
amilosa dan amilopektin.
Pada jagung ketan, sebagian besar atau seluruh patinya merupakan
amilopektin. Perbedaan ini tidak banyak berpengaruh pada kandungan gizi,
tetapi lebih berarti dalam pengolahan sebagai bahan pangan. Jagung
manis diketahui mengandung amilopektin lebih rendah tetapi mengalami
peningkatan fitoglikogen dan sukrosa.
Kandungan gizi Jagung per 100 gram bahan adalah
Kalori : 355 Kalori
Protein : 9,2 gr
Lemak : 3,9 gr
Karbohidrat : 73,7 gr
Kalsium : 10 mg
Fosfor : 256 mg
Ferrum : 2,4 mg
Vitamin A : 510 SI
Vitamin B1 : 0,38 mg
Air : 12 gr
Bassang lebih baik dihidangkan dalam keadaan panas dan diberi gula pasir
secukupnya pada waktu disajikan. Kini, bassang siap saji dalam bentuk
kemasan telah ada dan beredar luas di Sulawesi. Selamat Menikmati !!!
Selasa, 17 Juli 2012
Minggu, 15 Juli 2012
Asal Usul Gelar Andi Pada Bangsawan Bugis
Asal-usul
gelar andi yang disematkan di depan nama bangsawan bugis memang menjadi
pertanyaan banyak orang. Bermacam-macam pendapat dari para sejarawan
ataupun cerita orang-orang tua dulu tentang awal mula munculnya gelar
andi di dalam masyarakat bugis, namun belum ada yang dapat menunjukkan
bukti atau sumber yang benar-benar dapat dijadikan rujukan mutlak.Dari
beberapa sumber yang kami dapatkan, maka dapat diuraikan secara singkat
tentang penggunaan nama Andi sebagai gelar yang digunakan para
bangsawan Bugis.
Sebutan “Andi” adalah sebutan alur kebangsawanan yang diwariskan hasil genetis (keturunan) Lapatau, pasca Bugis merdeka dari orang Gowa.” Andi” ini dimulai ketika 24 Januari 1713 dipakai sebagai extention untuk semua keturunan hasil perkawinan Lapatau dengan putri Raja Bone sejati, Lapatau dengan putri Raja Luwu (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan putri raja Wajo (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan putri Sultan Hasanuddin (Sombayya Gowa), Anak dan cucu Lapatau dengan putri Raja Suppa dan Tiroang. Anak dan cucu Lapatau dengan putri raja sejumlah kerajaan kecil yang berdaulat di Celebes.
Perkawinan tersebut sebagai upaya VOC untuk membangun dan mengendalikan sosiologi baru di Celebes. Dan dengan alasan ini pula maka semua bangsawan laki-laki yang potensial pasca perjanjian bungaya, yang extrim dikejar sampai ke pelosok nusantara dan yang softly diminta tinggalkan bumi sawerigading (Celebes).
Siapa yang pungkiri kalau (Alm) Jendral Muhammad Yusuf adalah bangsawan Bugis, tetapi beliau enggan memakai produk exlusivisme buatan VOC. Beliau sejatinya orang Bugis genetis sang Sawerigading. Siapa pula yang pungkiri bahwa Yusuf Kalla adalah bangsawan Bugis tetapi beliau tidak memakai gelar “Andi” karena bukan keturunan langsung Lapatau.
Dalam versi lain, walaupun kebenaraannya masih dipertanyakaan selain karena belum ditemukan catatan secara tertulis dalam “Lontara” tetapi ada baiknya juga dipaparkan sebagai salah satu referensi penggunaan nama “Andi” tersebut. Di era pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri hubungan Bone dan VOC penuh dengan ketegangan dan berakhir dengan istilah “Rompana Bone“. Dalam menghadapi Belanda dibentuklah pasukan khas yaitu pasukan “Anre Guru Ana’ Karung” yang di pimpin sendiri Petta Ponggawae. Dalam pasukan tersebut tidak di batasi hanya kepada anak-anak Arung (bangsawan) saja tetapi juga kepada anak-anak muda tanggung yang orangtuanya mempunyai kedudukan di daerah masing-masing seperti anak pabbicara’e, salewatang dan lain-lain, bahkan ada dari masyarakat to meredaka. Mereka mempunyai ilmu sebagai “Bakka Lolo dan Manu Ketti-ketti“. Anggota pasukan tersebut disapa dengan gelaran “Andi” sebagai keluarga muda angkat Raja Bone yang rela mati demipatettong’ngi alebbirenna Puanna (menegakkan kehormatan rajanya).
Menurut cerita orang-orang tua Bone, Petta Imam Poke saat menerima tamu yang mamakai gelaran “Andi” atau “Petta” dari daerah khusus Bone maka yang pertama ditanyakan “Nigatu Wija idi’ Baco/Baso? (anda keturunan siapa Baso/Baco?). Baso/Baco adalah sapaan untuk anak laki-laki. Jika mereka menjawab “Iyye, iyya atanna Petta Pole (saya adalah hambanya Petta Pole)”, maka Petta Imam Poke mengatakan “Koki tudang ana baco/baso” (duduklah disamping saya) sambil menunjukkan dekat tempat duduknya, maka nyatalah bahwa “Andi” mereka pakai memang keturunan bangsawan pattola, cera dan rajeng, tetapi kalau jawaban Petta mengatakan “oohh, enreki mai ana baco” sambil menunjukkan tempat duduk di ruang tamu maka nyatalah “Andi” mereka pakai karena geleran bagi anak ponggawa kampong(panglima) atau ana to maredeka yang pernah ikut dalam pasukan khas tersebut.
Dalam versi yang hampir sama, gelar “Andi” pertama kali digunakan oleh Raja Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah Putra Raja Gowa dan Putri Raja Bone. Gelar itu disematkan didepan nama beliau pada Tahun 1930 atas Pengaruh Belanda. Gelar Andi tersebut bertujuan untuk menandai Bangsawan-bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan ketika melihat berbagai keuntungan dan kemudahan yang diperoleh bagi Bangsawan yang memakai gelar “Andi” didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara serentak seluruh Raja-Raja yang berada di Sulawesi Selatan menggunakan Gelar tersebut didepan namanya masing-masing.Kelihatannya kita harus membuka lontara antara era pemerintahan La Tenri Tatta Petta To Ri Sompa’e sampai La Mappanyukki khususnya versi Bone karena era itulah terjadi jalinan kerja sama maupun perseteruan antara Raja-Raja di celebes dengan VOC, selain itu orang yang bersangkutan menyaksikan awal penggunaan secara meluas bagi Ana’ Arung juga semakin sukar dicari alias sudah banyak yang berpulang ke Rahmatullah, salah satu pakar yang begitu arif tentang masalah ini adalah Almahrum Tau Ri Passalama’e Anre Gurutta H.A.Poke Ibni Mappabengga (Mantan imam besar mesjid Raya Bone)…
Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya ‘Bugis Weddings’ (telah diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkawinan Bugis) disinggung bagaimana proses lahirnya gelar Andi itu. Memang, seperti yang disinggung di atas, saat itu Pemerintah Belanda di tahun 1910-1920an ingin memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan membebaskan keturunan bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul masalah bagaimana menentukan seorang berdarah bangsawan atau tidak. Akibatnya, berbondong-bondonglah warga mendatangi raja dan menegosiasikan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan, karena rumitnya proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan kebangsawanan seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi untuk menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk sertifikat (mungkin sejenis sertifikat yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam kursus montir mobil atau sejenisnya).
Penggunaan Andi saat itu juga beragam di setiap kerajaan. Soppeng misalnya hanya menetapkan bahwa gelar Andi adalah bangsawan pada derajat keturunan ketiga, sementara Wajo dan Bone hingga keturunan ketujuh.
Dari sumber berikutnya dapat kami uraikan sebagai berikut. Gelar Kebangsawanan “Datu” adalah gelar yang sudah ada sejak adanya kerajaan Bugis, di Luwu misalnya, semua raja bergelar Datu, dan Datu yang berprestasi bergelar Pajung, jadi tidak semua yang bergelar Datu disebung Pajung. Sama halnya di Bone, semua raja bergelar Arung, tapi tidak semua Arung bergelar Mangkau, hanya arung yang berprestasi bergelar Mangkau. Begitu juga di Makassar atau Gowa, semua bangsawan atau raja-raja bergelar Karaeng, hanya yang menjadi raja di Gowa yang bergelar Sombaiya.
Gelar kebangsawanan lainnya, mengikut kepada pemerintahan atau panggaderen di bawahnya, seperti Sulewatang, Arung, Petta, dan lain-lain. Jadi gelar itu mengikut terhadap jabatan yang didudukinya. Sementara untuk keturunannya yang membuktikan sebagai keturunan bangsawan, di Makassar dipanggil Karaeng. sedang di Bugis dipanggil Puang, dan di Luwu dipanggil Opu.Adapun gelar Andi, pertama-tama yang menggunakannya adalah Andi Mattalatta untuk membedakan antara pelajar dari turunan bangsawan dan rakyat biasa. Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh turunan bangsawan Luwu, dan Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar ini muncul.
Gelar “Andi” baru ada setelah era Pemerintah Kolonial Belanda (PKB). Setelah 1905, Sulawesi Selatan benar-benar ditaklukkan Belanda dan terjadi kekosongan kepemimpinan lokal. Tahun 1920-1930an PKB mencanangkan membentuk Zelf Beestuur (Pemerintah Pribumi/Swapraja) yang dibawahi oleh Controleur (Pejabat Belanda) untuk Onder Afdeling. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, jika memang Andi diidentikan dengan Belanda, mengapa pejuang kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma, Arumpone, Andi Mappanyukki, Ranreng Tuwa Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar Andi didepan namanya sementara mereka justru menolak dijajah? tapi juga harus diakui bahwa ada juga yang berinisial Andi yang tunduk patuh pada PKB. Nah ini yang kita harus bijak menilai antara gelar dan pilihan personal terhadap kemerdekaan/penjajahan.
Secara umum Bangsawan Bugis berasal dari pemimpin-pemimpin anang/kampung/wanua sebelum datangnya To Manurung/To Tompo. Pimpinan-pimpinan kampung ini yang selanjutnya disebut kalula/arung dengan nama alias/gelar berbeda-beda yang disesuaikan dengan nama kampung/kondisi/perilaku bersangkutan yang dia peroleh melalui pengangkatan/pelantikan oleh sekelompok anang/masyarakat maupun secara kekerasan (peperangan bersenjata) yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun kepada ahli warisnya, kecuali jika dikemudian hari ternyata dia ditaklukkan dan diganti oleh penguasa yang lebih tinggi/kuat.
Sedangkan To Manurung dan To Tompo yang, ‘asal usul’ dan ‘namanya’ kadang-kadang tidak diketahui dan segala kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, oleh sekelompok pimpinan kalula/arung/matoa sepakat untuk mengangkatnya menjadi ketua kelompok dikalangan kalula/arung yang selanjutnya menjadi penguasa/raja yang berarti pula pondasi dasar sebuah kerajaan/negara telah terbentuk –dimana tanah/wilayah, pemimpin/penguasa dan pengakuan dari segenap rakyat sudah terpenuhi.
Penguasa/Raja biasanya kawin dengan sesama To Manurung/To Tompo [jika dia 'ada'/muncul tanpa didampingi pasangannya] dan pada tahap awal cenderung mengawinkan anak-anaknya dengan bangsawan lokal yang sudah ada sebelumnya. Ketika kerajaan-kerajaan kecil tadi dalam perkembangannya menjadi kerajaan besar, barulah perkawainan anak antar-kerajaan mulai diterapkan oleh Arung Palakka
FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU)
(1871 – 1895)
We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta. Pada tahun 1879 M. kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa.
Yang menjadi tanda tanya adalah :
Perbedaan dapat kita lihat sebagai berikut yaitu :
Apabila yg memakai data dari sytem pemerintahan yang pada proses pendudukan Belanda mungkin ada benarnya bahwa Andi adalah pemberian Belanda, tapi ini akan menimbulkan pertanyaan yaitu : Apakah pemberian nama Andi dimana posisi bangsawan saat itu gampang dan mudah melihat yang mana pro dan anti terhadap Belanda karena baik pro dan anti Belanda semuanya menyandang gelar itu?, lalu apakah contoh yang paling mudah ketika Andi Mappanyukki sebagai tokoh yg mempopulerkan nama Andi merupakan orang anti Belanda?
Dari pertanyaan diatas dapat disimpulkan sementara bahwa kata asal-usul nama Andi adalah pemberian Belanda telah gugur.
Apabila data yang mengacu karena istilah penghormatan dari masyarakat luar Bugis atau akhirnya digunakan oleh Belanda terhadap bangsawan Bugis dianggap karena sama sederajat juga ada benarnya dimana yang dulunya istilah Adik adalah Andri menjadi Andi itu sangat relevan karena contoh sangat konkrit adalah sosok Andi Mappanyukki pada sejarah Kronik Van Paser yang namanya disebut hanya La Mappanyukki saja, namun karena banyaknya tetua Bangsawan Wajo hidup di Paser saat itu hingga mengatakan Andri sehingga masyarakat suku-suku Paser, Kutai dayak hingga Banjar sulit menyebutkan dan menyebabkan penyebutan menjadi Andi saja, hal yang sama ketika salah satu Ibukota Kerajan Kutai diberikan nama oleh masyarakat Bugis yang bernama Tangga Arung namun sulit penyebutannya oleh masyarakat setempat menjadi Tenggarong.
Ini juga menjadi data akurat bahwa nama Andi adalah aktualisasi perubahan dari Andri yang tidak bisa diucapkan dan akhrinya masuk ke wilayah orang Belanda dimana orang-orang bule baik Belanda, Portugis hingga Inggris sulit menyebut huruf “R”.
Data yg paling cukup kuat adalah bila suatu kampung (Wanua, Limpo) yang hampir seluruhnya didiami oleh keturunan bangsawan dimana semuanya sejajar ketika dikampung mereka hanya disebut La Nu dan hanya namanya La Nu tapi pada saat dia keluar secara otomatis masyarakat luar melekatkan nama Andi didepannya.menajdi Andi Nu (sebenarnya banyak tokoh di abad ke 18 telah diberi nama Andi sebelum Andi Mappanyukki).
Dari beberapa uraian yang dipaparkan di atas mungkin sulit untuk mengambil kesimpulan asal-usul gelar “Andi” bagi bangsawan bugis, namun yang terpenting adalah dengan membaca beberapa referensi setidaknya kita dapat menambah wawasan kita tentang sejarah Bugis.
referensi dari http://kampungbugis.com/asal-usul-gelar-andi-pada-bangsawan-bugis/
Sebutan “Andi” adalah sebutan alur kebangsawanan yang diwariskan hasil genetis (keturunan) Lapatau, pasca Bugis merdeka dari orang Gowa.” Andi” ini dimulai ketika 24 Januari 1713 dipakai sebagai extention untuk semua keturunan hasil perkawinan Lapatau dengan putri Raja Bone sejati, Lapatau dengan putri Raja Luwu (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan putri raja Wajo (yang bersekutu dengan kerajaan Gowa), Lapatau dengan putri Sultan Hasanuddin (Sombayya Gowa), Anak dan cucu Lapatau dengan putri Raja Suppa dan Tiroang. Anak dan cucu Lapatau dengan putri raja sejumlah kerajaan kecil yang berdaulat di Celebes.
Perkawinan tersebut sebagai upaya VOC untuk membangun dan mengendalikan sosiologi baru di Celebes. Dan dengan alasan ini pula maka semua bangsawan laki-laki yang potensial pasca perjanjian bungaya, yang extrim dikejar sampai ke pelosok nusantara dan yang softly diminta tinggalkan bumi sawerigading (Celebes).
Siapa yang pungkiri kalau (Alm) Jendral Muhammad Yusuf adalah bangsawan Bugis, tetapi beliau enggan memakai produk exlusivisme buatan VOC. Beliau sejatinya orang Bugis genetis sang Sawerigading. Siapa pula yang pungkiri bahwa Yusuf Kalla adalah bangsawan Bugis tetapi beliau tidak memakai gelar “Andi” karena bukan keturunan langsung Lapatau.
Dalam versi lain, walaupun kebenaraannya masih dipertanyakaan selain karena belum ditemukan catatan secara tertulis dalam “Lontara” tetapi ada baiknya juga dipaparkan sebagai salah satu referensi penggunaan nama “Andi” tersebut. Di era pemerintahan La Pawawoi Karaeng Sigeri hubungan Bone dan VOC penuh dengan ketegangan dan berakhir dengan istilah “Rompana Bone“. Dalam menghadapi Belanda dibentuklah pasukan khas yaitu pasukan “Anre Guru Ana’ Karung” yang di pimpin sendiri Petta Ponggawae. Dalam pasukan tersebut tidak di batasi hanya kepada anak-anak Arung (bangsawan) saja tetapi juga kepada anak-anak muda tanggung yang orangtuanya mempunyai kedudukan di daerah masing-masing seperti anak pabbicara’e, salewatang dan lain-lain, bahkan ada dari masyarakat to meredaka. Mereka mempunyai ilmu sebagai “Bakka Lolo dan Manu Ketti-ketti“. Anggota pasukan tersebut disapa dengan gelaran “Andi” sebagai keluarga muda angkat Raja Bone yang rela mati demipatettong’ngi alebbirenna Puanna (menegakkan kehormatan rajanya).
Menurut cerita orang-orang tua Bone, Petta Imam Poke saat menerima tamu yang mamakai gelaran “Andi” atau “Petta” dari daerah khusus Bone maka yang pertama ditanyakan “Nigatu Wija idi’ Baco/Baso? (anda keturunan siapa Baso/Baco?). Baso/Baco adalah sapaan untuk anak laki-laki. Jika mereka menjawab “Iyye, iyya atanna Petta Pole (saya adalah hambanya Petta Pole)”, maka Petta Imam Poke mengatakan “Koki tudang ana baco/baso” (duduklah disamping saya) sambil menunjukkan dekat tempat duduknya, maka nyatalah bahwa “Andi” mereka pakai memang keturunan bangsawan pattola, cera dan rajeng, tetapi kalau jawaban Petta mengatakan “oohh, enreki mai ana baco” sambil menunjukkan tempat duduk di ruang tamu maka nyatalah “Andi” mereka pakai karena geleran bagi anak ponggawa kampong(panglima) atau ana to maredeka yang pernah ikut dalam pasukan khas tersebut.
Dalam versi yang hampir sama, gelar “Andi” pertama kali digunakan oleh Raja Bone ke-30 dan ke-32 La Mappanyukki, beliau adalah Putra Raja Gowa dan Putri Raja Bone. Gelar itu disematkan didepan nama beliau pada Tahun 1930 atas Pengaruh Belanda. Gelar Andi tersebut bertujuan untuk menandai Bangsawan-bangsawan yang berada dipihak Belanda, dan ketika melihat berbagai keuntungan dan kemudahan yang diperoleh bagi Bangsawan yang memakai gelar “Andi” didepan namanya, akhirnya setahun kemudian secara serentak seluruh Raja-Raja yang berada di Sulawesi Selatan menggunakan Gelar tersebut didepan namanya masing-masing.Kelihatannya kita harus membuka lontara antara era pemerintahan La Tenri Tatta Petta To Ri Sompa’e sampai La Mappanyukki khususnya versi Bone karena era itulah terjadi jalinan kerja sama maupun perseteruan antara Raja-Raja di celebes dengan VOC, selain itu orang yang bersangkutan menyaksikan awal penggunaan secara meluas bagi Ana’ Arung juga semakin sukar dicari alias sudah banyak yang berpulang ke Rahmatullah, salah satu pakar yang begitu arif tentang masalah ini adalah Almahrum Tau Ri Passalama’e Anre Gurutta H.A.Poke Ibni Mappabengga (Mantan imam besar mesjid Raya Bone)…
Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya ‘Bugis Weddings’ (telah diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkawinan Bugis) disinggung bagaimana proses lahirnya gelar Andi itu. Memang, seperti yang disinggung di atas, saat itu Pemerintah Belanda di tahun 1910-1920an ingin memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan membebaskan keturunan bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul masalah bagaimana menentukan seorang berdarah bangsawan atau tidak. Akibatnya, berbondong-bondonglah warga mendatangi raja dan menegosiasikan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan, karena rumitnya proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan kebangsawanan seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi untuk menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk sertifikat (mungkin sejenis sertifikat yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam kursus montir mobil atau sejenisnya).
Penggunaan Andi saat itu juga beragam di setiap kerajaan. Soppeng misalnya hanya menetapkan bahwa gelar Andi adalah bangsawan pada derajat keturunan ketiga, sementara Wajo dan Bone hingga keturunan ketujuh.
Dari sumber berikutnya dapat kami uraikan sebagai berikut. Gelar Kebangsawanan “Datu” adalah gelar yang sudah ada sejak adanya kerajaan Bugis, di Luwu misalnya, semua raja bergelar Datu, dan Datu yang berprestasi bergelar Pajung, jadi tidak semua yang bergelar Datu disebung Pajung. Sama halnya di Bone, semua raja bergelar Arung, tapi tidak semua Arung bergelar Mangkau, hanya arung yang berprestasi bergelar Mangkau. Begitu juga di Makassar atau Gowa, semua bangsawan atau raja-raja bergelar Karaeng, hanya yang menjadi raja di Gowa yang bergelar Sombaiya.
Gelar kebangsawanan lainnya, mengikut kepada pemerintahan atau panggaderen di bawahnya, seperti Sulewatang, Arung, Petta, dan lain-lain. Jadi gelar itu mengikut terhadap jabatan yang didudukinya. Sementara untuk keturunannya yang membuktikan sebagai keturunan bangsawan, di Makassar dipanggil Karaeng. sedang di Bugis dipanggil Puang, dan di Luwu dipanggil Opu.Adapun gelar Andi, pertama-tama yang menggunakannya adalah Andi Mattalatta untuk membedakan antara pelajar dari turunan bangsawan dan rakyat biasa. Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh turunan bangsawan Luwu, dan Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar ini muncul.
Gelar “Andi” baru ada setelah era Pemerintah Kolonial Belanda (PKB). Setelah 1905, Sulawesi Selatan benar-benar ditaklukkan Belanda dan terjadi kekosongan kepemimpinan lokal. Tahun 1920-1930an PKB mencanangkan membentuk Zelf Beestuur (Pemerintah Pribumi/Swapraja) yang dibawahi oleh Controleur (Pejabat Belanda) untuk Onder Afdeling. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, jika memang Andi diidentikan dengan Belanda, mengapa pejuang kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma, Arumpone, Andi Mappanyukki, Ranreng Tuwa Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar Andi didepan namanya sementara mereka justru menolak dijajah? tapi juga harus diakui bahwa ada juga yang berinisial Andi yang tunduk patuh pada PKB. Nah ini yang kita harus bijak menilai antara gelar dan pilihan personal terhadap kemerdekaan/penjajahan.
Secara umum Bangsawan Bugis berasal dari pemimpin-pemimpin anang/kampung/wanua sebelum datangnya To Manurung/To Tompo. Pimpinan-pimpinan kampung ini yang selanjutnya disebut kalula/arung dengan nama alias/gelar berbeda-beda yang disesuaikan dengan nama kampung/kondisi/perilaku bersangkutan yang dia peroleh melalui pengangkatan/pelantikan oleh sekelompok anang/masyarakat maupun secara kekerasan (peperangan bersenjata) yang selanjutnya diwariskan secara turun-temurun kepada ahli warisnya, kecuali jika dikemudian hari ternyata dia ditaklukkan dan diganti oleh penguasa yang lebih tinggi/kuat.
Sedangkan To Manurung dan To Tompo yang, ‘asal usul’ dan ‘namanya’ kadang-kadang tidak diketahui dan segala kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, oleh sekelompok pimpinan kalula/arung/matoa sepakat untuk mengangkatnya menjadi ketua kelompok dikalangan kalula/arung yang selanjutnya menjadi penguasa/raja yang berarti pula pondasi dasar sebuah kerajaan/negara telah terbentuk –dimana tanah/wilayah, pemimpin/penguasa dan pengakuan dari segenap rakyat sudah terpenuhi.
Penguasa/Raja biasanya kawin dengan sesama To Manurung/To Tompo [jika dia 'ada'/muncul tanpa didampingi pasangannya] dan pada tahap awal cenderung mengawinkan anak-anaknya dengan bangsawan lokal yang sudah ada sebelumnya. Ketika kerajaan-kerajaan kecil tadi dalam perkembangannya menjadi kerajaan besar, barulah perkawainan anak antar-kerajaan mulai diterapkan oleh Arung Palakka
FATIMAH BANRI (WE BANRI GAU)
(1871 – 1895)
We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkau’ di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta. Pada tahun 1879 M. kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa.
Yang menjadi tanda tanya adalah :
- Apakah sebelum La Magguliga Andi Bangkung Karaeng Popo masih ada juga yang menggunakan nama/gelar itu sebelumnya?
- Mengapa kata ‘Andi’ yg digunakan/disepakati sebagai penandaan gelar bagi kaum bangsawan Sulawesi Selatan pada saat itu sampai dengan sekarang? Kenapa bukan Karaeng atau Raden atau Uwak atau dan lain-lain?
Perbedaan dapat kita lihat sebagai berikut yaitu :
Apabila yg memakai data dari sytem pemerintahan yang pada proses pendudukan Belanda mungkin ada benarnya bahwa Andi adalah pemberian Belanda, tapi ini akan menimbulkan pertanyaan yaitu : Apakah pemberian nama Andi dimana posisi bangsawan saat itu gampang dan mudah melihat yang mana pro dan anti terhadap Belanda karena baik pro dan anti Belanda semuanya menyandang gelar itu?, lalu apakah contoh yang paling mudah ketika Andi Mappanyukki sebagai tokoh yg mempopulerkan nama Andi merupakan orang anti Belanda?
Dari pertanyaan diatas dapat disimpulkan sementara bahwa kata asal-usul nama Andi adalah pemberian Belanda telah gugur.
Apabila data yang mengacu karena istilah penghormatan dari masyarakat luar Bugis atau akhirnya digunakan oleh Belanda terhadap bangsawan Bugis dianggap karena sama sederajat juga ada benarnya dimana yang dulunya istilah Adik adalah Andri menjadi Andi itu sangat relevan karena contoh sangat konkrit adalah sosok Andi Mappanyukki pada sejarah Kronik Van Paser yang namanya disebut hanya La Mappanyukki saja, namun karena banyaknya tetua Bangsawan Wajo hidup di Paser saat itu hingga mengatakan Andri sehingga masyarakat suku-suku Paser, Kutai dayak hingga Banjar sulit menyebutkan dan menyebabkan penyebutan menjadi Andi saja, hal yang sama ketika salah satu Ibukota Kerajan Kutai diberikan nama oleh masyarakat Bugis yang bernama Tangga Arung namun sulit penyebutannya oleh masyarakat setempat menjadi Tenggarong.
Ini juga menjadi data akurat bahwa nama Andi adalah aktualisasi perubahan dari Andri yang tidak bisa diucapkan dan akhrinya masuk ke wilayah orang Belanda dimana orang-orang bule baik Belanda, Portugis hingga Inggris sulit menyebut huruf “R”.
Data yg paling cukup kuat adalah bila suatu kampung (Wanua, Limpo) yang hampir seluruhnya didiami oleh keturunan bangsawan dimana semuanya sejajar ketika dikampung mereka hanya disebut La Nu dan hanya namanya La Nu tapi pada saat dia keluar secara otomatis masyarakat luar melekatkan nama Andi didepannya.menajdi Andi Nu (sebenarnya banyak tokoh di abad ke 18 telah diberi nama Andi sebelum Andi Mappanyukki).
Dari beberapa uraian yang dipaparkan di atas mungkin sulit untuk mengambil kesimpulan asal-usul gelar “Andi” bagi bangsawan bugis, namun yang terpenting adalah dengan membaca beberapa referensi setidaknya kita dapat menambah wawasan kita tentang sejarah Bugis.
referensi dari http://kampungbugis.com/asal-usul-gelar-andi-pada-bangsawan-bugis/
ebelum
terbentuknya IKAMI SUL SEL, para Mahasiswa dan Pelajar asal Sulawesi
Selatan yang menuntut ilmu di perantauan, telah membentuk organisasi
pemuda / pelajar /mahasiswa dengan berbagai bentuk, nama, sifat dan
tujuan operasional. Suatu hal yang menarik, di wilayah Propinsi
Sulawesi Selatan sendiri IKAMI SUL SEL tidak di jumpai. Yang ada adalah
organisasi pemuda / pelajar / mahasiswa yang memakai atribut
Kabupaten / Kotamadya, seperti : IPMIL (Ikatan Pelajar Mahasiswa
Indonesia Luwu), IMPS (Ikatan Mahasiswa Pelajar Soppeng), KEPMI
(Kerukunan Pelajar Mahasiswa Indonesia) Bone, HIPERMAWA ( Himpanan
Pelajar Mahasiswa Wajo ), HPMT (Himpunan Mahasiswa Pelajar Turatea )
Jeneponto, KKMB (Kerukunan Keluarga Mahasiswa Bulukumba), GEMPITA
(Gerakan Mahasiswa Pelajar Tana Doang) Selayar, HIPERMAJU (Himpunan
Mahasiswa Pelajar Mamuju), GAPPEMBAR (Gabungan Pemuda Pelajar Mahasiswa
Barru), dan lain-lain.
Akan tetapi, diluar wilayah Propinsi
Sulawesi Selatan, “aspirasi“ generasi pemuda pelajar dan mahasiswa di
salurkan hanya pada “satu bendera“ dengan atribut “Sulawesi Selatan “.
Tidak ada lagi warna daerah ( Kabupaten / Kotamadya ), semuanya lebur
dalam satu ikatan kekeluargaan, yang berdiri hampir di semua kota-kota
besar di seluruh Indonesia, dimana saja generasi muda Sulawesi Selatan
berada.
Mengingat bahwa Pulau Jawa merupakan “kiblat” bagi
generasi muda intelektual dari seluruh penjuru tanah air untuk mengadu
nasib khususnya guna menuntut ilmu, tidak aneh kalau dari Pulau
Jawa-lah lahirnya gagasan dan prakarsa mempersatukan
organisasi-organisasi sejenis yang memakai atribut Sulawesi Selatan
kedalam satu ikatan yang terorganisasi dengan sistem manajemen
profesional.
Seperti terungkap pada awal tulisan ini, di luar
wilayah propinsi Sulawesi Selatan kekompakan putera-puteri daerah yang
datang dari berbagai latar belakang etnis ternyata dapat terjalin lebih
erat. Apakah ia dari etnis Bugis, Makassar, Mandar, Tana Toraja, atau
Sub etnis campuran seperti Selayar (sub- etnis Makassar), Palopo
(sub-etnis Bugis) Polmas (sub-etnis Mandar-Toraja), Enrekang (sub-etnis
Bugis-Toraja) kesemuanya menyatu dalam ikatan kekeluargaan Sulawesi
Selatan. Hanya saja, di setiap daerah perantau, setiap “kelompok”
Sulawesi Selatan berdiri sendiri-sendiri secara otonom, tidak ada
kaitan organisator antara organisasi “Sulawesi Selatan” yang satu
dengan organisasi “Sulawesi Selatan” yang lainnya.
Keadaan ini
berlangsung sampai tahun 1961, yaitu ketika 8 Organisasi otonom pelajar
/ mahasiswa “ Sulawesi Selatan” menyatukan kebulatan tekad membentuk
sebuah wadah, yang pada awal kelahirannya masih berbentuk konfederasi,
dimana setiap organisasi tetap membawa nama dan otonominya
masing-masing.
Gagasan konfederasi ini disponsori oleh
IPMSS Jakarta, IPISS Yogyakarta dan PPSS Bandung, yang berhasil
menyelenggarakan pertemuan yang di sebut Musyawarah Besar (MUBES) I
bertempat di Ciloto Puncak Jawa Barat, tanggal 28-30 September 1961
yang dihadiri oleh 8 ( delapan ) organisasi pelajar / mahasiswa
Sulawesi Selatan, yaitu :
1. Ikatan Pelajar / Mahasiswa Sulawesi Selatan (IPISS) Yogyakarta
2. Ikatan Pelajar / Mahasiswa Sulawesi Selatan (IPMSS) Jakarta
3. Ikatan Pelajar / Mahasiswa Sulawesi (IPIS) Malang.
4. Ikatan Pelajar / Mahasiswa Sulawesi (IPIS) Bogor.
5. Kontak Pelajar / Mahasiswa Sulawesi (KPS) Semarang.
6. Kesatuan Pelajar / Mahasiwa Sulawesi Selatan (KPSS) Surakarta.
7. Keluarga Pelajar / Mahasiswa Sulawesi Selatan (KPMS) Surabaya.
8. Persatuan Pelajar / Mahasiswa Indonesia Sulawesi Selatan (PPSS) Bandung.
Dalam
MUBES I ini disepakati untuk membentuk suatu Badan Musyawarah
(konfederasi) dengan nama “ Badan Musyawarah Mahasiswa / Sulawesi
Selatan Tenggara se Jawa “. Sesuai sifatnya merupakan Sekretariat
Bersama, maka pucuk pimpinan organisasi dipimpin oleh Sekretaris
Jenderal, dimana MUBES I tersebut berhasil memilih Tadjuddin Latief
B.Sc. Selaku Sekjen. Yang pertama. Sedangkan Tujuan Organisasi
dirumuskan : untuk membina Mahasiswa / Pelajar Indonesia menjadi sarjana
yang bertakwa dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil
dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
Momentum MUBES I inilah yang
kemudian di tetapkan sebagai hari lahir IKAMI SUL-SEL, yaitu tanggal 30
September 1961. Organisasi-organisasi mahasiswa / pelajar Indonesia
Sulawesi Selatan yang tersebar di seluruh Pulau Jawa yang semula
terpisah-pisah dan berjuang sendiri-sendiri, mulai saat itu telah
menyatukan komitmen dalam satu landasan perjuangan dan cita-cita.
Sejalan
dengan perkembangan jumlah anggota semakin terasa pula meningkatnya
berbagai kebutuhan , teristimewa bagi mahasiswa / pelajar diperantauan
yang menjadi anggota organisasi yang harus dikelola dan diayomi. Dengan
adanya satu wadah urun rembug, sambung rasa dan sambung saran,
penyelenggaraan MUBES berikutnya sudah mulai terarah pada kesatuan
gerak dan langkah langkah pelaksanaan program program setiap cabang,
yang di bawa untuk dikaji dan dicari solusinya. Penyelenggaraan MUBES
II / Sidang MPOA I di Bandung tanggal 26 – 31 Agustus 1963, selain
dihadiri oleh ke delapan organisasi Badan Musyawarah di tambah dengan
satu anggota baru, yaitu PERMAHIS (Persatuan Mahasiswa / Pelajar
Indonesia Sulawesi) Salatiga. Dengan demikian pada MUBES II tersebut
tercatat 9 (Sembilan) organisasi anggota. Ketika itu PPSS Bandung selaku
“tuan rumah” ikut menggaet mahasiswa dan pelajar asal Sulawesi
Tenggara, dan tampil dengan nama baru : HIPASULSELRA (Himpunan Mahasiswa
/ Pelajar Sulawesi Selatan Tenggara).
Dalam MUBES II itu,
disepakati penggantian nama federasi menjadi IKOMI SULSELRA (Ikatan
Kekeluargaan Organisasi Mahasiswa / Pelajar Sulawesi Selatan Tenggara).
Struktur kepengurusan lebih disempurnakan dan mulai mengarah pada
bentuk kesatuan namun masih belum meninggalkan sepenuhnya sistem
konfederasi. Kepengurusan dikelola oleh sebuah Presidium yang bersifat
pimpinan kolektif, dipimpin oleh Ketua Presidium (koordinatif), dan
tetap didampingi oleh Sekretaris Jenderal yang sifatnya fungsional.
Tegasnya, IKOMI SULSELRA yang terjemahannya-bebas dari akronimnya juga
berarti Hanya Engkau, menyatakan penyatuan antara bentuk kesatuan dan
bentuk federasi. Dalam MUBES II ini terpilih Muhjin Hasanuddin sebagai
Ketua Presidium dan A. Rachman Tolleng sebagai Sekretaris Jenderal.
Menjelang
akhir Masa Bakti Pengurus hasil MUBES II, negara dan bangsa kita
menghadapi ujian terberat bagi Ideologi Negara Pancasila dengan
pecahnya pengkhianatan G30S/PKI. Tahun-tahun tersebut cikal bakal IKAMI
SUL- SEL yang merupakan bagian dari organisasi kemasyarakatan pemuda,
ikut memperkuat barisan Angkatan ’66 yang menuntut tegaknya keadilan dan
kebenaran dibumi tercinta ini. Di saat itu, tampillah tokoh-tokoh
mahasiswa / pelajar di barisan terdepan, turun ke arena demonstrasi
untuk memperjuangkan TRITURA, yang menjadi tekad perjuangan seluruh
angkatan muda tanpa melihat latar belakang masing-masing. Semua merasa
terikat dalam satu gerak dan langkah perjuangan untuk menyelamatkan
Pancasila dan Negara Proklamasi 1945. Sejarah mencatat, perjuangan
“anak-anak” ini ikut menjadi faktor penentu Orde Baru.
Anggota-anggota
IKOMI SULSELRA turut menggabungkan diri disemua bagian Kesatuan Aksi
bersama-sama angkatan muda Indonesia lainnya sebagai pelopor dan
pendobrak tirani dalam upaya menegakkan kebenaran dan keadilan. Namun
demikian, detengah-tengah hiruk-pikuknya derap langkah perjuangan,
IKOMI SULSELRA masih tetap sempat kembali ke kampus sejenak mengatur
langkah agar ayunannya kedepan lebih terarah dan berkonsolidasi.
Diadakanlah MUBES III / Sidang MPOA II di Malang pada tanggal 12 – 16
Juli 1966, dimana tokoh-tokoh nasional sempat memberikan amanat,
termasuk Presiden Soeharto dan Ketua MPRS Jenderal DR. A.H. Nasution.
Dalam
MUBES III dirasa perlu untuk merentangkan lebih luas jaringan
organisasi dengan perubahan nama dari IKOMI SULSELRA menjadi IKAMI
SULAWESI yang diikuti dengan penyempurnaan bentuk, sifat, maupun
struktur organisasi. Dalam arena MUBES III bertambah pula anggota baru,
dengan masuknya Ikatan Keluarga Sulawesi (IKS) Jember yang bermaksud
melestarikan nama IKOMI sehingga merubah nama organisasi menjadi IKOMI
Jember, menyusul perubahan IKOMI SULSELRA menjadi IKAMI SULAWESI. Dengan
masuknya IKOMI Jember, maka genaplah 10 (Sepuluh) organisasi yang
menggabungkan diri menjadi IKAMI SULAWESI.
Sosok persatuan semakin
nampak, dimana pucuk pimpinan tidak lagi berbentuk Presidium,
melainkan langsung dipimpin oleh Ketua Umum, yang waktu itu terpilih
Drs. A. Mappi Sammeng, didampingi oleh M. Arief Wangsa sebagai
Sekretaris Jenderal.
Dibawah kepemimpinan Drs. A. Mappi Sammeng
dilakukan restrukturisasi organisasi dengan hanya “satu bendera” IKAMI
SULAWESI yang dalam derap langkahnya sudah meninggalkan bentuk federasi
dengan berbentuk kesatuan yang vertikal secara struktural
organisatoris, dengan Pengurus Besar di tingkat Pusat, yang membawahi
beberapa Pengurus Cabang. Maka ketika diselenggarakan MUBES IV di Ciawi
Bogor tanggal 1 – 4 April 1970, yang hadir bukan lagi utusan
organisasi otonom, melainkan 10 ( Sepuluh) Cabang IKAMI SULAWESI yang
waktu itu baru terbatas pada yang ada di Pulau Jawa, yakni ;
1. IKAMI SULAWESI Cabang Jakarta;
2. IKAMI SULAWESI Cabang Bandung;
3. IKAMI SULAWESI Cabang Bogor;
4. IKAMI SULAWESI Cabang Yogyakarta;
5. IKAMI SULAWESI Cabang Semarang;
6. IKAMI SULAWESI Cabang Salatiga;
7. IKAMI SULAWESI Cabang Surakarta;
8. IKAMI SULAWESI Cabang Surabaya;
9. IKAMI SULAWESI Cabang Jember,
10.IKAMI SULAWESI Cabang Malang.
Forum MUBES IV memilih Drs. Ec. Ali Adam sebagai Ketua Umum dan Basenang Saliwangi sebagai Sekretris Jenderal.
Melihat
kecenderungan komposisi Cabang, Pengurus dan Anggota dan dengan
semakin timbulnya kesadaran berorganisasi dikalangan generasi muda
mahasiswa dan pelajar perantauan dari seluruh penjuru tanah air, serta
dengan mempertimbangkan berbagai masukan dalam forum MUBES, maka pada
MUBES V di Ciawi Bogor tanggal 28 – 31 Desember 1975 dan sidang
lanjutan 27 Mei 1976 di Jakarta, forum memutuskan untuk lebih
menfokuskan kegiatan pada lingkup yang lebih kecil, yang direfleksikan
pada perubahan nama IKAMI SULAWESI menjadi IKAMI SUL-SEL. Dalam
konsiderans keputusan perubahan tersebut di tekankan bahwa hal ini
semata-mata didorong oleh keinginan luhur dan murni serta meyakini bahwa
tujuan organisasi hanya dapat tercapai dengan usaha yang teratur dan
penuh tanggung jawab. Untuk pertamakali dalam MUBES V ikut bergabung
Cabang dari Luar Jawa, Yakni IKAMI SUL-SEL Cabang Palembang.
Forum MUBES V berhasil memilih Syarifuddin Masselangka sebagai Ketua Umum dan Alwi Amien sebagai Sekretaris Jenderal.
Pada
MUBES VI yang dilaksanakan pada tanggal 7 – 11 Januari 1982 di
Kaliurang Yogyakarta, beberapa pokok persoalan yang selama ini muncul
sebagai tantangan organisasi menempatkan acara MUBES sebagai forum
pencarian jawaban atas soal tersebut. Disamping itu upaya-upaya guna
menserasikan derap langkah organisasi dengan realitas zaman tetap
dilakukan. Hal ini dianggap urgen, sebab IKAMI SUL-SEL tidak mungkin
hanya menjadi “penonton” terhadap gejala dan fenomena yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat.
Pada penyelenggaraan MUBES VI
tersebut, Jumlah Cabang IKAMI SUL-SEL berkembang menjadi 12 (Dua
Belas), dengan masuknya IKAMI SUL-SEL Cabang Ciputat, yang berdasarkan
pertimbangan praktis, massanya cukup besar untuk berdiri sendiri,
berdampingan dengan IKAMI SUL-SEL Cabang Jakarta, yang ikut menjadi
“pendiri” organisasi ini. Forum MUBES VI berhasil memilih Azis Taba
Pabeta sebagai Ketua Umum dan Muhammad Saleh A.F. sebagai Sekretaris
Jenderal.
MUBES VII dilaksanakan tanggal 26 – 29 Juli 1984 di
Jember Jawa Timur. Thema MUBES : “Dengan MUBES VII IKAMI SUL-SEL Kita
Wujudkan Kesatuan Dalam Kebhinnekaan”. Merupakan refleksi dari
cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Wawasan Nusantara,
betapa pun ada unsur kewilayahan dalam akronim organisasi ini. Hal itu
lebih nampak dari booklet yang diterbitkan paska MUBES, yang di di
halaman halaman awal turut memberikan kata sambutan : Gubernur Kepala
Daerah Tk. I Sulawesi Selatan Prof. DR. H.A. Amiruddin dan Walikota
Jember R. HirdjanSoewarso, B.A.
MUBES VII mempercayakan jabatan Ketua Umum kepada Andi Guntur Sose dan sebagai Sekretris Jenderal : M. Anwar Andi Baso.
Setelah
itu kegiatan organisai hampir “tenggelam”. MUBES yang seharusnya
dilaksanakan setiap 3 (Tiga) tahun sekali, tidak terlaksana. Keaktifan
Cabang-cabang tidak diimbangi oleh Pengurus Besar. Terjadilah
stagnasi/kevakuman kegiatan organisasi tersebut menimbulkan keprihatinan
beberapa Cabang mengusulkan penyelenggaraan MUBES luar biasa. Dengan
disponsori oleh 4 (Empat) Cabang, yaitu IKAMI SUL-SEL Cabang Jakarta,
IKAMI SUL-SEL Cabang Bogor, IKAMI SUL-SEL Cabang Ciputat dan IKAMI
SUL-SEL Cabang Bandung, maka diselenggarakan MUBES VIII (Luar Biasa), di
Cipayung Bogor Jawa Barat tanggal 23 – 26 Maret 1989. Inilah pertama
kalinya dalam sejarah IKAMI SUL-SEL diadakan MUBES dengan status luar
biasa. Ketika itu terdapat 21 (Dua Puluh Satu) Cabang IKAMI SUL-SEL yang
mendaftarkan diri pada Panitia, tetapi pelaksanaan musyawarah hanya
dihadiri 15 (Lima Belas) Cabang. Terpilih sebagai Ketua Umum : M.Arief
Pahlevi Pangerang dan Bustamin Bashir di percayakan memangku jabatan
sebagai Sekretaris Jenderal.
“Care Taker” Pengurus Besar IKAMI
SUL-SEL hasil MUBES VIII berhasil menyelenggarakan MUBES IX Ujung
Pandang tanggal 19 – 23 September 1992. MUBES ini juga menyertakan
acara Sarasehan Nasional yang diselenggarakan sebelum acara MUBES.
Hadir dalam Sarasehan tersebut Menteri Pemuda dan Olahraga Ir. Akbar
Tanjung, Menteri Transmigrasi Soegiarto, didukung oleh seluruh
petinggi di daerah termasuk Gubernur Kepala Derah Tingkat I Selawesi
Selatan Prof. DR. H. A. Amiruddin. MUBES IX mengukuhkan M. Arief
Pahlevi Pangerang sebagai Ketua Umum dan untuk jabatan Sekretaris
Jenderal di percayakan kepada Muhammad Yunus.
MUBES X yang
diselenggarakan di Samarinda Kalimantan Timur tanggal 19 – 20 November
1995 , didahului dengan Dialog Nasional pada tanggal 17 – 18 November
1995. Rangkaian kedua acara ini berangkat dengan thema : “Pemberdayaan
Potensi Sumber Daya Manusia dan Potensi Sumber Daya Alam Kawasan Timur
Indonesia (KTI) dalam Mensukseskan PJP II”. Kesuksesan pelaksanaan
MUBES ini menghantarkan Wahidah Laomo sebagai Ketua Paniitia Pelaksana
MUBES sukses pula dinobatkan menjadi Ketua Umum IKAMI periode
1995-1998.
Kepemimpinan Wahidah laomo yang awalnya diragukan oleh
sebahagian senior IKAMI dengan alasan status “wanita” justru memperkuat
eksistensi IKAMI sebagai organisasi kepemudaan yang diperhitungkan
dalam proses pembangunan daerah Sulawesi Selatan. Hubungan yang erat
antara IKAMI, Pemda Sul-Sel dan tokoh-tokoh masyarakat Sul-Sel yang
berdomisili di luar Sul-Sel terekspresi dalam kesuksesan setiap
penyelenggaraan kegiatan IKAMI.
MUBES XI pada tanggal 21-24 April
1999 yang diselenggarakan di Jakarta dalam kondisi negara berada pada
proses transisi kepemimpinan nasional, menetapkan sdr. H.M. Suaib Didu
sebagai Formateur/Ketua umum periode 1999-2001 dan Idang Hadijah
Farouk sebagai Sekretaris Jendral.
MUBES KE XII di rangkaikan
SEMINAR NASIONAL yang diselenggarakan di Bogor, pada tanggal 10-13 Mei
2002 dibuka oleh Bpk. Gubernur Sulawesi Selatan H.Z.B Palaguna.
Selanjutnya Seminar Nasional dengan pemakalah Bpk. Prof. Dr. H. Ryaas
Rasyid, DR. Ir. M. Said Didu , H.M. Aksa Mahmud, Prof. Drs. H. Anwar
Arifin dan wakil dari IPB Bogor. MUBES Ke- XII ini mengukuhkan Abdillah
Natsir sebagai Ketua Umum.
Jalan yang dirambah dan di dahului
dengan para pen-dahulu kita sudah cukup panjang terentang. Dan jalan
yang terbentang di hadapan kita, lebih panjang, rumit dan kompleks,
dimana situasi dan kondisi bangsa dan negara kita diperhadapkandengan
arus globalisasi dan informasi yang teramat deras. Akan mampukah IKAMI
SUL-SEL ikut berperan dalam irama pembangunan yang demikian pesatnya ?
Apakah “layar terkembang” pada logo IKAMI SUL-SEL yang telah susah
payah diletakkan oleh para pendahulu kita dapat kita lanjutkan
melayarkannya menuju pantai harapan dan cita-cita?
Langganan:
Postingan (Atom)